Senin, 23 Mei 2011

Dani Pedrosa, Spain Racer

BIODATA

Nama : Dani Pedrosa
Tim : Repsol Honda
Kebangsaan : Spanyol
Lahir : Sabadell, 29 September 1985
Tinggi/Berat : 158cm/51Kg
Hobi : Musik, Internet
Karir :
  1. Tim Honda, 125 cc (2001 – 2003)
  2. Tim Honda, 250 cc (2004 – 2005)
  3. Tim Honda, MotoGP (2006 – 2007)

Mesin Motor :

1. Type : 4 stroke
2. Configuration/Cylinder no : 5 cylinders into V
3. Displacement : 990 cc
4. Declared power : + 240 HP
5. Fuel system : Electronic injection
6. Gearbox : 6 ratios, extractable
7. Clutch : Dry, multidisc
Penghargaan :
  1. Juara ke-3 Kejuaraan Minibike Spanyol (1997)
  2. Juara ke-1 Minibike Spanyol (1998)
  3. Juara ke-8 Trophy Piala Movistar Activa Joven (1999)
  4. Juara ke-4 Kejuaraan GP 125 Spanyol (2000)
  5. Juara ke-8 Kejuaraan Dunia GP 125 (2001)
  6. Juara ke-3 Kejuaraan Dunia GP 125 (2002)
  7. Juara Dunia 125 cc (2003)
  8. Juara Dunia 250 cc (2004)
  9. Juara Dunia 250 cc (2005)
  10. Juara ke-5 Kejuaraan Dunia MotoGP (2006)
BIOGRAFI
Daniel “Dani” Pedrosa Ramal, lahir pada tanggal 29 September 1985 di Sabadell, Spanyol adalah seorang pembalap motor Grand Prix. memulai debut balap GrandPrix motor pada tahun 2001 di kelas 125 cc bersama tim Telefonica movistar Honda JR, dan meraih posisi ke 8 klasemen akhir.
Dani Pedrosa mulai mengendarai motor sejak usia empat tahun. Balapan pertamanya bersama teman-temannya dengan menggunakan motor kecil replika dari Kawasaki yang ia dapatkan saat usianya enam tahun. Pengalaman balapnya di mulai sejak usia 11 tahun, dimana ia mengikuti kejuaraan Minibike Spanyol dan mengakhiri debutnya pada musim itu di juara ke-2.
Daniel Pedrosa memulai debut balap GrandPrix motor pada tahun 2001 di kelas 125 cc bersama tim Telefonica movistar Honda JR, dan meraih posisi ke 8 klasemen akhir. Pada tahun 2002 ia meraih juara 3 dunia GP 125 cc untuk tim Telefonica.
Di musim balap 2003 bersama tim Telefonica movistar Honda JR, ia merebut juara dunia GP 125cc dengan poin 223. Dan pada tahun 2004 ia pindah ke kelas 250 cc dan bergabung dengan tim telefonica movistar Honda 250, dan langsung merebut juara dunia GP 250 cc.
Tahun 2005 Dani Pedrosa mempertahankan gelar juara dunia GP 250 cc. Di musim balap 2006 ia pindah ke kelas MotoGP untuk tim Repsol Honda, bersama pembalap Amerika Nicky Hayden.

Mahkamah Konstitusi dan Prinsip Konstitusionalitas Hukum


Mahkamah Konstitusi dan Prinsip
Konstitusionalitas Hukum
Oleh I Dewa Gede Palguna
MAHKAMAH Konstitusi adalah institusi baru dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Institusi ini diadakan setelah dilakukannya perubahan atau amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Tepatnya diatur dalam pasal 24 ayat 2 yang menyatakan ''kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi".
Oleh karena itu, dalam membicarakan kedudukan dan peranan MK dalam sitem ketatanegaraan Indonesia saat ini tidak bisa dilakukan tanpa terlebih dahulu meninjau sistem ketatanegaraan yang berlaku sebelum dilakukan amandemen terhadap UUD 1945 itu.
Perubahan fundamental yang terjadi setelah dilakukannya amandemen terhadap UUD 1945 adalah berubahnya struktur dan mekanisme kerja lembaga-lembaga negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, yakni sistem yang bercorak vertical-hierakis menjadi horizontal-hierakis. Dalam sistem lama, yakni sistem yang bercorak vertical hierakis itu, lembaga-lembaga negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia disusun secara vertikal dan bertingkat dengan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) berada di struktur dan kedudukan sebagai lembaga tertinggi negara.
Di bawahnya terdapat sejumlah lembaga negara, yakni presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Pertimbangan Agung (DPA), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Mahkamah Agung (MA) yang kedudukannya sederajat dan masing-masing diberi status sebagai lembaga tinggi negara.
MPR diberi kedudukan sebagai lembaga tertinggi negara karena (MPR) dikonstruksikan sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia. MPR secara hipotetik dianggap sebagai penjelmaan seluruh rakyat adalah keanggotaan MPR itu terdiri atas anggota DPR ditambah dengan utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan yang diatur dengan undang-undang. Oleh karena MPR dianggap sebagai penjelmaan seluruh rakyat, maka kepadanya diberi kekuasaan yang hampir tak terbatas yaitu sebagai pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat.
Selanjutnya oleh karena MPR adalah pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat berarti seluruh kekuasaan dalam negara terpusat di MPR. Dengan kata lain, MPR-lah sumber dari seluruh kekuasaan yang ada di dalam negara. Dari sini kekuasaan itu dibagi-bagikan kepada lembaga-lembaga tinggi negara tadi, yakni Presiden, DPR, DPA, MA, dan BPK.
Inilah alasan sistem ketatanegaraan Indonesisa sebelum dilakukan amandemen pertama terhadap UUD 1945 juga disebut sebagai sistem ketatanegaraan dengan supremasi MPR atau sistem pembagian kekuasaan (division of power). Dengan kekuasaan yang besar itu dalam praktiknya, MPR bisa berada di atas Undang-Undang Dasar atau bahkan MPR sama dengan negara itu sendiri.
Atribut Kedaulatan Setelah dilakukan perubahan terhadap UUD 1945, keadaan itu berubah sama sekali. Tidak ada kualifikasi lembaga-lembaga negara ke dalam lembaga tertiggi dan tinggi negara. Semua lembaga negara kedudukannya sederajat. Lembaga-lembaga negara itu sesuai dengan fungsi-fungsinya. Memperoleh kedudukan dan kekuasaannya dari atau berdasarkan UUD dan pada saat yang sama dibatasi oleh UUD.
Dalam hal ini UUD 1945 yang telah mengalami perubahan atau amandemen itu. Kedaulatan rakyat tidak lagi diserahkan sepenuhnya kepada satu lembaga melainkan oleh UUD. Atribut kedaulatan itu disebar kepada lembaga-lembaga negara yang ada.
Mahkamah Konstitusi adalah bagian dari kekuasaan kehakiman, yaitu kekuasaan yang oleh UUD 1945 (yang telah diamandemen) diberi pengertian kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Makna kata-kata ''menegakkan hukum dan keadilan'' tersebut adalah berkait erat dengan paham negara hukum (rule of law).
Paham inilah yang dianut di Indonesia. Secara tegas oleh UUD 1945 pasal 1 ayat 3 menyatakan ''Indonesia adalah negara hukum''. Sejauh ini diketahui ada tiga prinsip dasar yang berlaku dalam tiap negara hukum, yakni supremacy of law (supremasi hukum), equality before law (persamaan atau kesederajatan di hadapan hukum), due process of law (penegakan hukum yang tidak boleh dilakukan dengan melanggar hukum dengan melanggar hak-hak asasi manusia). Dari ketiga prinsip inilah kemudian diturunkan ciri-ciri yang secara umum digunakan sebagai indikator bahwa suatu negara menganut paham negara hukum, yakni adanya legalitas dalam arti hukum bahwa tindakan negara maupun warga negara harus didasarkan atas dan melalui hukum.
Adanya pemisahan kekuasaan dalam negara, dalam arti bahwa kekuasaan negara itu tidak terpusat di satu tangan. Adanya kekuasaan kehakiman atau peradilan yang merdeka, dan adanya jaminan atau peradilan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia. Selain itu, ciri ini harus ada dalam konstitusi atau undang-undag suatu negara yang menganut paham negara hukum. Oleh karena konstitusi atau Undang-Undang Dasar adalah hukum dasar yang meladasi keseluruhan sistem hukum yang berlaku di suatu negara yang menganut paham negara hukum, maka "menegakkan hukum dan keadilan" adalah berarti menegakkan ketiga prinsip itu dalam kehidupan bernegara.
Hal itu baru bisa dicapai, terutama apabila seluruh ketentuan hukum yang berlaku di suatu negara benar-benar mengacu dan tidak bertentangan dengan konstitusi atau UUD yang berlaku di negara itu. Ini sesungguhnya yang menjadi tugas utama Mahkamah Konstitusi yakni menjaga atau menjamin terselenggaranya konstitusionalitas hukum. Oleh karena itu, betapapun beragamnya kekuasaan untuk menegakkan prinsip konstitusionalitas hukum ini telah menjadi ciri umum yang berlaku di setiap negara yang memiliki MK dalam sistem ketatanegaraannya, terlepas dari soal apakah lembaga itu secara tegas disebut MK atau diberi sebutan lainnya.
UUD 1945 memberikan kewenangan kepada MK untuk melakukan pengujian secara material undang-undang, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan tentang sengketa pemilihan umum, dan memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden atau Wakil Presiden. (Pasal 24 C ayat 1 dan 2).
Kalau diperhatikan secara seksama, keseluruhan kewenangan yang dimiliki oleh MK itu, dalam arti luas sesungguhnya bisa dikembalikan kepada upaya menjaga tegaknya prinsip konstitusionalitas hukum. Hubungan MK dan MA Pertanyaannya kemudian, bagaimanakah hubungan MK dan MA. Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 menyatakan, MA berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang. Ketentuan ini secara implisit menunjukkan maksud pembentuk UUD untuk memberikan peran kepada MA sebagai penegak hukum dan keadilan tertinggi untuk persoalan yang lebih merupakan persoalan hukum sehari-hari.
Sementara kewenangan MK adalah lebih ditujukan terhadap persoalan-persoalan yang langsung berkaitan dengan UUD. Namun, pada analisis terakhir, keduanya adalah sama-sama bertujuan untuk menegakkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam paham negara hukum. Uraian di atas menunjukkan pengertian bahwa ada perbedaan yang mendasar antara ruang lingkup yang terkandung dalam pengertian kekuasaan kehakiman sebelum dan sesudah dilakukan amandemen terhadap UUD 1945. Sebelum amandemen, tampak bahwa pengertian kekuasaan kehakiman diartikan terbatas pada upaya menegakkan hukum dan keadilan atas masalah-masalah yang tercakup dalam empat lingkungan peradilan (peradilan umum, peradilan militer, agama, dan peradilan tata usaha negara).
Sementara setelah amandemen, pengertian menegakkan hukum dan keadilan menjadi lebih luas. Bukan hanya meliputi soal-soal yang termasuk dalam "wilayah" empat lingkungan peradilan tadi, melainkan upaya untuk menegakkan prinsip konstitusionalitas hukum. Bersamaan dengan itu, UUD 1945 juga membagi kewenangan yang ada di dalam kekuasaan kehakiman itu.
Terhadap persoalan-persoalan yang berada dalam ruang lingkup lingkungan peradilan umum, militer, agama dan tata usaha negara, wewenangnya diberikan kepada MA dan pengadilan-pengadilan yang ada di bawahnya. Sedangkan terhadap persoalan-persoalan yang langsung berhubungan dengan UUD kewenangannya diberikan kepada MK.
Perbedaan lainnya, sebagaimana tampak dalam uraian di awal tulisan ini, adalah kerangka teoretisnya. Sebelum amandemen, kedudukan kekuasaan kehakiman adalah diturunkan dari atau sebagai bagian dari pendistribusian kekuasaan yang diberikan oleh MPR (yang dengan demikian sesungguhnya berarti bertentangan dengan penjelasan UUD 1945 tetapi sekaligus juga bertentangan dengan hakikat kekuasaan kehakiman dalam sebuah negara yang menganut paham negara hukum yang menghendaki kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka).
Setelah amandemen, kekuasaan kehakiman benar-benar diberi kualitas sebagai kekuasaan yang merdeka dalam rangka menegakkan prinsip-prinsip negara hukum dan kewenangan itu langsung diperoleh dari UUD, bukan dari lembaga lain yang dikonstruksikan sebagai lembaga tertinggi.
Peranan MK sebagai institusi yang menegakkan prinsip konstitusionalitas hukum juga dapat dilihat dalam konteks sistem pemerintahan yang dianut UUD 1945. Diketahui empat ciri yang lazim ditemukan dalam sistem ini, yakni adanya masa jabatan presiden yang bersifat pasti (fixed executive system atau fixed term). Kepala negara adalah sekaligus kepala pemerintahan, adanya mekanisme saling mengawasi dan saling mengimbangi (checks and balances), serta adanya mekanisme impeachment.
Sebagaimana dimaklumi, dalam sistem presidensial, impeachment dikatakan sebagai exceptional clause terhadap syarat fixed term. Maksudnya, pada dasarnya dalam sistem ini seorang presiden tidak dapat diberhentikan di tengah jalan atau sebelum masa jabatannya habis, sebab ia dipilih langsung oleh rakyat. Namun, sesuai dengan prinsip supremacy of law dan eguality before law, ia tetap bisa diberhentikan apabila terbukti melakukan pelanggaran hukum sebagaimana yang ditentukan dalam UUD.
Tetapi proses pemberhentian itu sendiri juga tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum, khususnya eguality before the law dan due process of law. Artinya, sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan seorang presiden bersalah, ia tidak bisa diberhentikan. Pengadilan yang dimaksud dalam hal ini adalah MK. (Ditulis kembali oleh Nikson)
Sumber,
http://www.balipost.co.id/BALIPOSTCETAK/2003/8/16/pol3.htm

Minggu, 22 Mei 2011

Piagam ASEAN


Piagam ASEAN
Piagam ASEAN adalah anggaran dasar bagi Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN). Dokumen ini telah diadopsi pada KTT ASEAN ke-13 di Singapura, November 2007 dan mulai berlaku sejak 15 Desember 2008.
Secara formal, rencana pembuatan draf dicanangkan pada KTT ASEAN ke-11 pada bulan Desember 2005 di Kuala Lumpur. Kemudian, sepuluh tokoh penting ASEAN dari masing-masing negara anggota (disebut ASEAN Eminent Persons Group; Indonesia diwakili oleh Ali Alatas) ditunjuk untuk merumuskan sejumlah naskah rekomendasi bagi piagam ini. Pada KTT ASEAN ke-12 di Cebu, Filipina, Januari 2007, beberapa proposal dasar dipaparkan ke publik. Pada saat yang sama, para pemimpin ASEAN bersepakat untuk membentuk "tim kerja tingkat tinggi untuk merumuskan Piagam ASEAN" yang beranggotakan sepuluh utusan tingkat senior pemerintah masing-masing. Tim ini bertemu 13 kali selama 2007. Dalam proses ini kebijakan "tidak campur tangan" ("non-interference policy") yang menjadi ciri khas ASEAN tidak ditekankan lagi dan diusulkan pula pembentuk badan urusan HAM.
Ratifikasi Piagam ASEAN
Naskah Piagam ASEAN telah disepakati tahun 2007 di Singapura dengan ditandatangani oleh semua kepala pemerintahan negara-negara anggota. Agar Piagam ASEAN yang pertama kali ini berlaku mengikat, telah disepakati bahwa kesepuluh negara anggota harus meratifikasinya sebelum pelaksanaan KTT ASEAN ke-14 di Chiang Mai, Thailand. Piagam ini baru akan berlaku 30 hari setelah "Instrumen Ratifikasi" ke-10 diserahkan kepada Sekretaris Jenderal ASEAN (Dr. Surin Pitsuwan).
Sejak tanggal 21 Oktober 2008 semua negara anggota telah meratifikasi piagam ini, sebagaimana tercantum pada tabel berikut.
Negara Anggota
Tanggal Ratifikasi
oleh Pemerintah
Penyerahan
Instrumen Ratifikasi
Disetujui oleh
18 Desember 2007
7 Januari 2007
Perdana Menteri
31 Januari 2008
15 Februari 2008
Sultan
14 Februari 2008
20 Februari 2008
Menteri Luar Negeri
14 Februari 2008
20 Februari 2008
Perdana Menteri
25 Februari 2008[1]
18 April 2008
Majelis Nasional
14 Maret 2008
19 Maret 2008
Menteri Luar Negeri
21 Juli 2008
21 Juli 2008]
Menteri Luar Negeri
16 September 2008[1]
14 November 2008]
Parlemen
7 Oktober 2008[3]
12 November 2008]
Senat
21 Oktober 2008[4]
13 November 2008]
DPR

Sumber,
http://id.wikipedia.org/wiki/Piagam_ASEAN

Republik Maluku Selatan


Republik Maluku Selatan

Sejarah

Pada 25 April 1950 RMS hampir/nyaris diproklamasikan oleh orang-orang bekas prajurit KNIL dan pro-Belanda yang di antaranya adalah Dr. Chr.R.S. Soumokil bekas jaksa agung Negara Indonesia Timur yang kemudian ditunjuk sebagai Presiden, Ir. J.A. Manusama dan J.H. Manuhutu.
Pemerintah Pusat yang mencoba menyelesaikan secara damai, mengirim tim yang diketuai Dr. J. Leimena sebagai misi perdamaian ke Ambon. Tapi kemudian, misi yang terdiri dari para politikus, pendeta, dokter dan wartawan, gagal dan pemerintah pusat memutuskan untuk menumpas RMS, lewat kekuatan senjata. Dibentuklah pasukan di bawah pimpinan Kolonel A.E. Kawilarang.
Pada 14 Juli 1950 Pasukan ekspedisi APRIS/TNI mulai menumpas pos-pos penting RMS. Sementara, RMS yang memusatkan kekuatannya di Pulau Seram dan Ambon, juga menguasai perairan laut Maluku Tengah, memblokade dan menghancurkan kapal-kapal pemerintah.
Pemberontakan ini berhasil digagalkan secara tuntas pada bulan November 1950, sementara para pemimpin RMS mengasingkan diri ke Belanda. Pada 1951 sekitar 4.000 orang Maluku Selatan, tentara KNIL beserta keluarganya (jumlah keseluruhannya sekitar 12.500 orang), mengungsi ke Belanda, yang saat itu diyakini hanya untuk sementara saja.
RMS di Belanda lalu menjadi pemerintahan di pengasingan. Pada 29 Juni 2007 beberapa pemuda Maluku mengibarkan bendera RMS di hadapan Presiden Susilo Bambang Yudhono pada hari keluarga nasional di Ambon. Pada 24 April 2008 John Watilette perdana menteri pemerintahan RMS di pengasingan Belanda berpendapat bahwa mendirikan republik merupakan sebuah mimpi di siang hari bolong dalam peringatan 58 tahun proklamasi kemerdekaan RMS yang dimuat pada harian Algemeen Dagblad yang menurunkan tulisan tentang antipati terhadap Jakarta menguat. Tujuan politik RMS sudah berlalu seiring dengan melemahnya keingingan memperjuangkan RMS ditambah tidak adanya donatur yang bersedia menyisihkan dananya, kini hubungan dengan Maluku hanya menyangkut soal sosial ekonomi. Perdana menteri RMS (bermimpi) tidak menutup kemungkinan Maluku akan menjadi daerah otonomi seperti Aceh Kendati tetap menekankan tujuan utama adalah meraih kemerdekaan penuh [2].

Pemimpin

Pemimpin pertama RMS dalam pengasingan di Belanda adalah Prof. Johan Manusama, pemimpin kedua Frans Tutuhatunewa turun pada tanggal 25 april 2009. Kini John Wattilete adalah pemimpin RMS pengasingan di Belanda.
Dr. Soumokil mengasingkan diri ke Pulau Seram. Ia ditangkap di Seram pada 2 Desember 1962, dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan militer, dan dilaksanakan di Kepulauan Seribu, Jakarta, pada 12 April 1966.

Dukungan

Mayoritas penduduk Maluku pada saat RMS didirikan beragama Islam dan Kristen secara berimbang, Namun dengan adanya budaya "Pela Gandong", dapatlah dikatakan bahwa di Kepulauan Maluku, seluruh lapisan dan segenap Masyarakat Maluku bersatu secara kekeluargaan, baik ber-agama Kristen, Islam, maupun agama Hindu dan Budha, semuanya bersatu. Demikian saat itu RMS.[rujukan?] berbeda dengan sekarang, sudah banyak pendatang-pendatang baru dari daerah Sulawesi Selatan, Tengah, Tenggara, Jawa Madura maupun daerah lainnya di Indonesia. sehingga hanya sekelompok kecil lah masyarakat yang mempunyai hubungan keluarga dengan para pengungsi RMS di Belanda yang terus memberikan dukungan, sedangkan mayoritas masyarakat Maluku kontemporer melihat peristiwa pemberontakan RMS sebagai masa lalu yang suram dan ancaman bagi perkembangan kedamaian dan keharmonisan serta upaya pemulihan setelah perisitiwa kerusuhan Ambon.

RMS di Belanda

Oleh karena kemerdekaan RMS yang di Proklamirkan oleh sebagian besar rakyat Maluku, pada tanggal 24 April 1950 di kota Ambon, ditentang oleh Pemerintah RI dibawah pimpinan Sukarno - Hatta, maka Pemerintah RI meng-ultimatum semua para aktifis RMS yang memproklamirkan berdirinya Republik Maluku Selatan untuk menyerahkan diri kepadda pemerintah RI, sehingga semua aktifis RMS itu ditangkapi oleh Pasukan2 Militer yang dikirim dari Pulau Jawa.
Karena adanya penangkapan yang dilakukan oleh militer Pemerintah RI, maka para pimpinan teras RMS tersebut, ber-inisiatif untuk menghindar sementara ke Negeri Belanda, kepindahan para pimpinan RMS ini mendapat bantuan sepenuhnya dari Pemerintah Belanda pada saat itu. Dengan adanya kesediaan bantuan dari Pemerintah Belanda untuk mengangkut sebagian besar rakyat Maluku dengan biaya sepenuhnya dari Pemerintah Belanda, maka sebagian besar rakyat di Maluku yang beragama kristen, memilih dengan kehendaknya sendiri untuk pindah ke Negeri Belanda. Pada waktu itu, Ada lebih dari 15.000 rakyat Maluku yang memilih pindah ke negeri Belanda.
Pindahnya sebagian rakyat maluku ini, oleh Pemerintahan Sukarno-Hatta, diissukan sebagai "PENGUNGSIAN PARA PENDUKUNG RMS", lalu dengan dalih pemberontakan, pemerintah RI menangkapi para Menteri RMS dan para aktifisnya, lalu mereka dipanjarakan dan diadili oleh pengadilan militer RI, dengan hukuman berat bahkan dieksekusi Mati.
Di Belanda, Pemerintah RMS tetap menjalankan semua kebijakan Pemerintahan, seperti Sosial, Politik, Keamanan dan Luar Negeri. Komunikasi antara Pemerintah RMS di Belanda dengan para Menteri dan para Birokrat di Ambon berjalan lancar terkendali. Keadaan ini membuat pemerintahan Sukarno tkdak bisa berpangku tangan menyaksikan semua aktivitas rakyat Maluku, sehingga dikeluarkanlah perintah untuk menangkap seluruh pimpinan dengan semua jajarannya, sehingga pada akhirnya dinyatakanlah bahwa Pemerintah RMS yang berada di Belanda sebagai Pemerintah RMS dalam pengasingan Dengan bekal dokumentasi dan bukti perjuangan RMS, para pendukung RMS membentuk apa yang disebut Pemerintahan RMS di pengasingan.
Pemerintah Belanda mendukung kemerdekaan RMS, Namun di tahun 1978 terjadi peristiwa Wassenaar, dimana beberapa elemen pemerintahan RMS melakukan serangan kepada Pemerintah Belanda sebagai protes terhadap kebijakan Pemerintah Belanda. Oleh Press di Belanda dikatakanlah peristiwa itu sebagai teror yang dilakukan para aktifis RMS di Belanda. Ada yang mengatakan serangan ini disebabkan karena pemerintah Belanda menarik dukungan mereka terhadap RMS. Ada lagi yang menyatakan serangan teror ini dilakukan karena pendukung RMS frustasi, karena Belanda tidak dengan sepenuh hati memberikan dukungan sejak mula. Di antara kegiatan yang di lansir Press Belanda sabagai teror, adalah ketika di tahun 1978 kelompok RMS menyandera 70 warga sipil di gedung pemerintah Belanda di Assen-Wassenaar.
Selama tahun 70an, teror seperti ini dilakukan juga oleh beberapa kelompok sempalan RMS, seperti kelompok Komando Bunuh Diri Maluku Selatan yang dipercaya merupakan nama lain (atau setidaknya sekutu dekat) Pemuda Maluku Selatan Merdeka. Kelompok ini merebut sebuah kereta api dan menyandera 38 penumpangnya di tahun 1975. Ada juga kelompok sempalan yang tidak dikenal yang pada tahun 1977 menyandera 100 orang di sebuah sekolah dan di saat yang sama juga menyandera 50 orang di sebuah kereta api.
Sejak tahun 80an hingga sekarang aktivitas teror seperti itu tidak pernah dilakukan lagi.

Kerusuhan

Pada saat Kerusuhan Ambon yang terjadi antara 1999-2004, RMS kembali mencoba memakai kesempatan untuk menggalang dukungan dengan upaya-upaya provokasi, dan bertindak dengan mengatas-namakan rakyat Maluku. Beberapa aktivis RMS telah ditangkap dan diadili atas tuduhan kegiatan-kegiatan teror yang dilakukan dalam masa itu, walaupun sampai sekarang tidak ada penjelasan resmi mengenai sebab dan aktor dibalik kerusuhan Ambon.
Pada tanggal 29 Juni 2007, beberapa elemen aktivis RMS berhasil menyusup masuk ke tengah upacara Hari Keluarga Nasional yang dihadiri oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, para pejabat dan tamu asing. Mereka menari tarian Cakalele seusai Gubernur Maluku menyampaikan sambutan. Para hadirin mengira tarian itu bagian dari upacara meskipun sebenarnya tidak ada dalam jadwal. Mulanya aparat membiarkan saja aksi ini, namun tiba-tiba para penari itu mengibarkan bendera RMS. Barulah aparat keamanan tersadar dan mengusir para penari keluar arena. Di luar arena para penari itu ditangkapi. Sebagian yang mencoba melarikan diri dipukuli untuk dilumpuhkan oleh aparat. Pada saat ini (30 Juni 2007) insiden ini sedang diselidiki. Beberapa hasil investigasi menunjukkan bahwa RMS masih eksis dan mempunyai Presiden Transisi bernama Simon Saiya. Beberapa elemen RMS yang dianggap penting ditahan di kantor Densus 88 Anti Teror[










Sumber,
http://id.wikipedia.org/wiki/Republik_Maluku_Selatan