PENDAHULUAN
Perbankan syari’ah di Indonesia telah mengalami
perkembangan dengan pesat, masyarakat mulai mengenal dengan apa yang di
sebut Bank Syari’ah. Dengan di awali berdirinya pada tahun 1992 oleh bank yang
di beri nama dengan Bank Mu’amalat Indonesia (BMI), sebagai pelopor berdirinya
perbankan yang berlandaskan sistem syari’ah, kini bank syari’ah yang tadinya
diragukan akan sistem operasionalnya, telah menunjukkan angka kemajuan yang
sangat mempesonakan.
Bank syaria’h
mulai digagas di Indonesia
pada awal periode 1980-an, di awali dengan pengujian pada skala bank yang
relatif lebih kecil, yaitu didirikannya Baitut Tamwil-Salman, Bandung . Dan di Jakarta didirikan dalam
bentuk koperasi, yakni Koperasi Ridho Gusti.[1]Berangkat dari sini, Majlis Ulama’ Indonesia (MUI) berinisiatif
untuk memprakarsai terbentuknya bank syari’ah, yang dihasilkan dari rekomendasi
Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan di Cisarua, dan di bahas lebih lanjut dengan
serta membentuk tim kelompok kerja pada Musyawarah Nasional IV MUI yang
berlangsung di Hotel Syahid Jakarta pada tanggal 22-25 Agustus 1990.[2]
Awal
berdirinya bank Islam, banyak pengamat perbankan yang meragukan akan eksistensi
bank Islam nantinya. Di tengah-tengah bank konvensional, yang berbasis dengan
sistem bunga, yang sedang menanjak dan menjadi pilar ekonomi Indonesia , bank Islam mencoba
memberikan jawaban atas keraguan yang banyak timbul. Jawaban itu mulai
menemukan titik jelas pada tahun 1997, di mana Indonesia
mengalami krisis ekonomi yang cukup memprihatinkan, yang dimulai dengan krisis
moneter yang berakibat sangat signifikan atas terpuruknya pertumbuhan ekonomi Indonesia .
Pertumbuhan
ekonomi yang mencapai rata-rata 7% per tahun itu tiba-tiba anjlok secara
spektakuler menjadi minus 15% di tahun 1998, atau terjun sebesar 22%. Inflasi
yang terjadi sebesar 78%, jumlah PHK meningkat, penurunan daya beli dan
kebangkrutan sebagian besar konglomerat dan dunia usaha telah mewarnai krisis
tersebut.[3]Indonesia
telah berada pada ambang kehancuran ekonomi, hampir semua sektor ekonomi
mengalami pertumbuhan negatif. Sektor konstruksi merupakan sektor yang mengalami pertumbuhan negatif
paling besar, yaitu minus 40% karena di akibatkan tingkat bunga yang sangat tinggi,
penurunan daya beli, dan beban hutang yang sangat besar. Sektor perdagangan dan
jasa mengalami kontraksi minus 21%, sektor industri manufaktur menurun sebesar
19%. Semua berakibat dari implikasi krisis moneter yang mengguncang Indonesia .[4]
Kondisi terparah
ditunjukkan oleh sektor perbankan, yang merupakan penyumbang dari krisis
moneter di Indonesia .
Banyak bank-bank konvensional yang tidak mampu membayar tingkat suku bunga, hal
ini berakibat atas terjadinya kredit macet. Dan non-performing loan perbankan Indonesia telah mencapai 70%.[5]
Akibat dari hal tersebut, dari bulan juli 1997 sampai dengan 13 Maret 1999,
pemerintah telah menutup sebanyak 55 bank, di samping mengambil alih 11 bank
(BTO) dan 9 bank lainnya di bantu untuk melakukan rekapitalisasi. Sedangkan
bank BUMN dan BPD harus ikut direkapitalisasi.
Dari 240 bank
yang ada sebelum krisis moneter, hanya tinggal 73 bank swasta yang dapat
bertahan tanpa bantuan pemerintah dan dinyatakan sehat, sisanya pemerintah
dengan terpaksa harus melikuidasinya.[6]
Salah satu
dari 73 bank tersebut, terdapat Bank Mu’amalat Indonesia yang mampu bertahan
dari terpaan krisis ekonomi, yang nyata memiliki sistem tersendiri dari
bank-bank lain, yaitu dengan memberlakukan sistem operasional bank dengan
sistem bagi hasil. Sistem bagi hasil yang diterapkan dalam perbankan syari’ah
sangat berbeda dengan sistem bunga, di mana dengan sistem bunga dapat
ditentukan keuntungannya diawal, yaitu dengan menghitung jumlah beban
bunga dari dana yang di simpan atau
dipinjamkan. Sedang pada sistem bagi hasil ketentuan keuntungan akan ditentukan
berdasarkan besar kecilnya keuntungan dari hasil usaha, atas modal yang telah
diberikan hak pengelolaan kepada nasabah mitra bank sayari’ah.
Untuk
mengetahui lebih lanjut tentang sistem bagi hasil pada perbankan syari’ah,
penulis akan mencoba menguraikan bagaimana sistem tersebut diberlakukan.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Sistem bagi
hasil merupakan sistem di mana dilakukannya perjanjian atau ikatan bersama di
dalam melakukan kegiatan usaha. Di dalam usaha tersebut diperjanjikan adanya
pembagian hasil atas keuntungan yang akan di dapat antara kedua belah pihak
atau lebih. Bagi hasil dalam sistem perbankan syari’ah merupakan ciri khusus
yang ditawarkan kapada masyarakat, dan di dalam aturan syari’ah yang berkaitan
dengan pembagian hasil usaha harus ditentukan terlebih dahulu pada awal
terjadinya kontrak (akad). Besarnya penentuan porsi bagi hasil antara kedua
belah pihak ditentukan sesuai kesepakatan bersama, dan harus terjadi dengan
adanya kerelaan (An-Tarodhin) di
masing-masing pihak tanpa adanya unsur paksaan.
Mekanisme
perhitungan bagi hasil yang diterapkan di dalam perbankan syari’ah terdiri dari
dua sistem, yaitu:
a.
Profit Sharing
b.
Revenue Sharing
1.
Pengertian Profit Sharing
Profit
sharing menurut etimologi Indonesia
adalah bagi keuntungan. Dalam kamus ekonomi diartikan pembagian laba.[7]
Profit secara istilah adalah perbedaan yang timbul ketika total pendapatan
(total revenue) suatu perusahaan lebih besar dari biaya total (total
cost).[8]
Di dalam
istilah lain profit sharing adalah perhitungan bagi hasil didasarkan
kepada hasil bersih dari total pendapatan setelah dikurangi dengan biaya-biaya
yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan tersebut.[9]
Pada perbankan syariah istilah yang sering dipakai adalah profit and loss
sharing, di mana hal ini dapat diartikan sebagai pembagian antara untung
dan rugi dari pendapatan yang diterima atas hasil usaha yang telah
dilakukan.
Sistem profit
and loss sharing dalam
pelaksanaannya merupakan bentuk dari perjanjian kerjasama antara pemodal (Investor)
dan pengelola modal (enterpreneur) dalam menjalankan kegiatan usaha
ekonomi, dimana di antara keduanya akan terikat kontrak bahwa di dalam usaha
tersebut jika mendapat keuntungan akan dibagi kedua pihak sesuai nisbah
kesepakatan di awal perjanjian, dan begitu pula bila usaha mengalami kerugian
akan ditanggung bersama[10]
sesuai porsi masing-masing.
Kerugian bagi
pemodal tidak mendapatkan kembali modal investasinya secara utuh ataupun
keseluruhan, dan bagi pengelola modal tidak mendapatkan upah/hasil dari jerih
payahnya atas kerja yang telah dilakukannya.
Keuntungan
yang didapat dari hasil usaha tersebut akan dilakukan pembagian setelah
dilakukan perhitungan terlebih dahulu atas biaya-biaya yang telah dikeluarkan selama
proses usaha. Keuntungan usaha dalam dunia bisnis bisa negatif, artinya usaha
merugi, positif berarti ada angka lebih sisa dari pendapatan dikurangi
biaya-biaya, dan nol artinya antara pendapatan dan biaya menjadi balance.[11]
Keuntungan yang dibagikan adalah keuntungan bersih (net profit) yang
merupakan lebihan dari selisih atas pengurangan total cost terhadap total
revenue.
2.
Pengertian Revenue Sharing
Revenue
Sharing berasal dari bahasa Inggris yang terdiri dari dua kata yaitu, revenue
yang berarti; hasil, penghasilan, pendapatan. Sharing adalah bentuk kata
kerja dari share yang berarti bagi atau bagian.[12] Revenue
sharing berarti pembagian hasil, penghasilan atau pendapatan.
Revenue (pendapatan)
dalam kamus ekonomi adalah hasil uang yang diterima oleh suatu perusahaan dari
penjualan barang-barang (goods) dan jasa-jasa (services) yang
dihasilkannya dari pendapatan penjualan (sales revenue).[13]
Dalam arti
lain revenue merupakan besaran yang mengacu pada perkalian antara jumlah
out put yang dihasilkan dari kagiatan produksi dikalikan dengan harga
barang atau jasa dari suatu produksi tersebut.[14]
Di dalam
revenue terdapat unsur-unsur yang terdiri dari total biaya (total cost) dan
laba (profit). Laba bersih (net profit) merupakan laba kotor (gross
profit) dikurangi biaya distribusi penjualan, administrasi dan keuangan.[15]
Berdasarkan
devinisi di atas dapat di ambil kesimpulan bahwa arti revenue pada
prinsip ekonomi dapat diartikan sebagai total penerimaan dari hasil usaha dalam
kegiatan produksi, yang merupakan jumlah dari total pengeluaran atas barang
ataupun jasa dikalikan dengan harga barang tersebut. Unsur yang terdapat di
dalam revenue meliputi total harga pokok penjualan ditambah dengan total
selisih dari hasil pendapatan penjualan tersebut. Tentunya di dalamnya meliputi
modal (capital) ditambah dengan keuntungannya (profit).
Berbeda dengan
revenue di dalam arti perbankan. Yang dimaksud dengan revenue
bagi bank adalah jumlah dari penghasilan bunga bank yang diterima dari
penyaluran dananya atau jasa atas pinjaman maupun titipan yang diberikan oleh
bank.[16]
Revenue
pada perbankan Syari'ah adalah hasil yang diterima oleh bank dari penyaluran
dana (investasi) ke dalam bentuk aktiva produktif, yaitu penempatan dana
bank pada pihak lain. Hal ini merupakan selisih atau angka lebih dari aktiva
produktif dengan hasil penerimaan bank.[17]
Perbankan
Syari'ah memperkenalkan sistem pada masyarakat dengan istilah Revenue
Sharing, yaitu sistem bagi hasil yang dihitung dari total pendapatan
pengelolaan dana tanpa dikurangi dengan biaya pengelolaan dana.[18]
Lebih jelasnya
Revenue sharing dalam arti perbankan adalah perhitungan bagi hasil
didasarkan kepada total seluruh pendapatan yang diterima sebelum dikurangi
dengan biaya-biaya yang telah dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan tersebut.[19]
Sistem revenue sharing berlaku pada pendapatan bank yang akan dibagikan
dihitung berdasarkan pendapatan kotor (gross sales), yang digunakan
dalam menghitung bagi hasil untuk produk pendanaan bank.[20]
B. Jenis-jenis Akad Bagi Hasil
Bentuk-bentuk
kontrak kerjasama bagi hasil dalam perbankan syariah secara umum dapat
dilakukan dalam empat akad, yaitu Musyarakah, Mudharabah, Muzara’ah dan
Musaqah. Namun, pada penerapannya prinsip yang digunakan pada sistem bagi
hasil, pada umumnya bank syariah
menggunakan kontrak kerjasama pada akad Musyarakah dan Mudharabah.
a.
Musyarakah (Joint Venture Profit &
Loss Sharing)
Adalah mencampurkan salah satu dari macam harta dengan harta lainnya sehingga tidak dapat
dibedakan di antara keduanya.[21]
Dalam pengertian lain musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak
atau lebih untuk suatu usaha tertentu di mana masing-masing pihak memberikan
kontribusi dana (atau amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa
keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.[22]
Penerapan yang dilakukan Bank Syariah, musyarakah
adalah suatu kerjasama antara bank dan nasabah dan bank setuju untuk membiayai
usaha atau proyek secara bersama-sama dengan nasabah sebagai inisiator proyek
dengan suatu jumlah berdasarkan prosentase tertentu dari jumlah total biaya
proyek dengan dasar pembagian keuntungan dari hasil yang diperoleh dari usaha
atau proyek tersebut berdasarkan prosentase bagi-hasil yang telah ditetapkan
terlebih dahulu.[23]
b.
Mudharabah (Trustee Profit Sharing)
Adalah suatu pernyataan yang mengandung pengertian bahwa
seseorang memberi modal niaga kepada orang lain agar modal itu diniagakan
dengan perjanjian keuntungannya dibagi antara dua belah pihak sesuai
perjanjian, sedang kerugian ditanggung oleh pemilik modal.[24]
Kontrak mudharabah dalam pelaksanaannya pada Bank Syariah
nasabah bertindak sebagai mudharib yang mendapat pembiayaan usaha atas
modal kontrak mudharabah. Mudharib menerima dukungan dana dari
bank, yang dengan dana tersebut mudharib dapat mulai menjalankan usaha
dengan membelanjakan dalam bentuk barang dagangan untuk dijual kepada pembeli,
dengan tujuan agar memperoleh keuntungan (profit).[25]
Adapun bentuk-bentuk mudharabah yang dilakukan dalam perbankan
syariah dari penghimpunan dan penyaluran dana adalah:
1. Tabungan Mudharabah. Yaitu, simpanan pihak ketiga yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat atau beberapa kali sesuai perjanjian.[26]
2.
Deposito Mudharabah. Yaitu, merupakan investasi
melalui simpanan pihak ketiga (perseorangan atau badan hukum) yang penarikannya
hanya dapat dilakukan dalam jangka waktu tertentu (jatuh tempo), dengan
mendapat imbalan bagi hasil.[27]
3.
Investai Mudharabah Antar Bank (IMA). Yaitu,
sarana kegiatan investasi jangka pendek dalam rupiah antar peserta pasar uang
antar Bank Syariah berdasarkan prinsip mudharabah di mana keuntungan
akan dibagikan kepada kedua belah pihak (pembeli dan penjual sertifikat IMA)
berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya.[28]
C. Mekanisme Perhitungan Bagi Hasil
Belum adanya
standar pola operasi yang dikeluarkan oleh otoritas moneter menjadikan
bank-bank syariah yang pada saat ini sudah beroperasi melakukan adopsi atau
menyusun pola operasi secara sendiri-sendiri. Ketidakseragaman pola operasi
yang diterapkan yang pada akhirnya akan mempersulit otoritas moneter, pemilik dana
serta bank yang bersangkutan melakukan kontrol serta mengukur tingkat kepatuhan
dan keberhasilan dari usaha bank-bank tersebut. Berikut contoh cara menghitung
bagi hasil pada bank syari’ah :
1.
Menghitung saldo rata-rata dari sumber dana bank yang
berdasar data dari hasil perhitungan di atas.
§
Giro Wadiah :
Rp. 60.000
§
Tabungan Mudharabah : Rp. 150.000
§
Deposito Mudharabah 1 bulan : Rp. 50.000
§
Deposito Mudharabah 3 bulan : Rp. 40.000
§
Deposito Mudharabah 6 bulan : Rp. 175.000
§
Deposito Mudharabah 12 bulan : Rp. 75.000
Total
Sumber Dana :
Rp. 550.000
2.
Menghitung rata-rata pelemparan dana yang dilakukan
oleh bank dalam sebulan, kemudian menghitung jumlah total pelemparan dana baik
dalam bentuk pembiayaan bagi hasil, jual beli maupun SBPU.
Jumlah posisi
rata-rata pelemparan dana dari hasil perhitungan diatas adalah :
§
Pembiayaan :
Rp. 480.000
§
SBPU :
Rp. 100.000
3.
Menghitung jumlah pendapatan yang akan dibagikan kepada
nasabah, dengan menghitung jumlah dari :
§
Pendapatan Pembiayaan : Rp. 8.000
§
Pendapatan SBPU :
Rp. 2.000
Dalam
menghitung jumlah pendapatan yang akan dibagikan kepada nasabah dapat dilakukan
dengan cara sebagai berikut :
a.
Membandingkan antara Total Aktiva Produktif dengan
Total Dana Pihak III, dalam hal ini Total Aktiva Produktif > Total Dana Pihak III. Total dana Pihak
III Rp. 550.000 semua digunakan sebagai sumber dana aktiva produktif. Dengan
rincian Rp. 480.000 dialokasikan kedalam pembiayaan dan Rp. 70.000 kedalam SBPU
b.
Menghitung porsi pendapatan yang dibagikan dari
masing-masing jenis aktiva produktif berdasarkan alokasi sumber dana diatas.
Pembiayaan :
(480.000/480.000) x 8.000 = 8.000
SBPU : (70.000/100.000) x
2.000 = 1.400 +
Jumlah total
pendapatan di bagikan 9.400
4.
Perhitungan bagi hasil nasabah
a.
Menghitung jumlah pendapatan dibagikan untuk
masing-masing dana
§
Tabungan : (150.000/550.000) x 9.400 = 2.564
§
Deposito 1 bulan : (50.000/550.000) x
9.400 = 855
§
Deposito 3 bulan : (40.000/550.000) x 9.400 = 684
§
Deposito 6 bulan : (175.000/550.000)
x 9.400 = 2.991
§
Deposito 12 bulan : (75.000/550.000) x
9.400 = 1.282
b.
Menghitung pendapatan bagi hasil yang akan dibayarkan
kepada masing-masing jenis dana sesuai dengan kesepakatan nisbah
§
Tabungan :
45/100 x 2.564 = 1.154
§
Deposito 1 bulan : 65/100 x
855 = 556
§
Deposito 3 bulan : 66/100 x
684 = 451
§
Deposito 6 bulan : 66/100 x
2.991 = 1.974
§
Deposito 12 bulan : 67/100 x 1.282 = 859
c.
Menghitung ekuivalen rate untuk masing-masing jenis
sumber dana untuk jangka waktu 31 hari
§
Tabungan :
(1.154/150.000) x 365/31 x 100% =
9.06%
§
Deposito 1 bulan : (556/50.000) x 365/31 x 100% = 13.09%
§
Deposito 3 bulan : (451/40.000) x 365/31 x
100% = 13.28%
§
Deposito 6 bulan : (1.974/175.000) x 365/31 x 100% =
13.28%
§
Deposito 12 bulan : (859/75.000) x 36/31
x 100% = 13.49%
Pada umumnya bank-bank syariah di
Indonesia
dalam perhitungan bagi hasilnya menggunakan sistem bobot pada setiap dana
investasi, dengan mengalikan prosentase bobot tersebut dengan saldo rata-rata.
Semakin labil investasi tersebut semakin kecil bobot yang dikenakan, dan
semakin stabil investasi maka semakin besar bobot yang dikenakan pada investasi
tersebut, hal ini diterapkan sebagai bentuk dari pengamanan risiko pada setiap
dana invesatasi. Bobot akan mempengaruhi besarnya bagi hasil yang akan
didistribusikan sehingga akan berdampak pada bagi hasil yang akan diterima oleh
pemilik dana.[29]Hal ini
dapat dilihat dari contoh perhitungan sistem revenue sharing yang menggunakan
bobot pada tabel diatas.
KESIMPULAN
Sistem bagi
hasil yang diterapkan di dalam perbankan syari’ah terbagi kepada dua sistem,
yaitu; pertama. Profit Sharing yaitu
sistem bagi hasil yang didasarkan pada hasil bersih dari pendapatan yang
diterima atas kerjasama usaha, setelah dilakukan pengurangan-pengurangan atas
beban biaya selama proses usaha tersebut. Kedua.
Revenue Sharing adalah sistem bagi hasil yang didasarkan kepada total
seluruh pendapatan yang diterima sebelum dikurangi dengan biaya-biaya yang
telah dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan tersebut.
Di dalam
perbankan syari’ah Indonesia
sistem bagi hasil yang diberlakukan adalah sistem bagi hasil dengan
berlandaskan pada sistem revenue sharing. Bank syari’ah dapat berperan sebagai
pengelola maupun sebagai pemilik dana, ketika bank berperan sebagai pengelola
maka biaya tersebut akan ditanggung oleh bank, begitu pula sebaliknya jika bank
berperan sebagai pemilik dana akan membebankan biaya tersebut pada pihak
nasabah pengelola dana.
Sumber, http://www.ebookpp.com/ma/makalah-tentang-perbankan-doc-6.html
[1] Syafi’I Antonio,
Bank Syari’ah; Wacana Ulama’ dan Cendekiawan, (Jakarta: Tazkia Institut dan
Bank Indonesia, 1999). h. 278
[2] ibid
[3] Zainul Arifin.
Memahami Bank Syari’ah; Lingkup, Peluang, Tantangan dan Prospek, (Jakarta : Alvabet, 2000).
Cet. 3. h. v
[4] ibid. h. vi
[5] ibid
[6] ibid. h. vii
[7] Muhammad, Manajemen Bank Syariah, (Yogyakarta : UPP AMP YKPN, 2002) h. 101
[8] Cristopher
Pass dan Bryan Lowes, Kamus
Lengkap Ekonomi, (Jakarta :
Erlangga, 1994)Edisi ke-2 , h. 534
[9] Tim Pengembangan Perbankan Syariah IBI, Konsep, Produk dan Implementasi
Operasional Bank Syari’ah, (Jakarta : Djambatan,
2001), h. 264
[10] Murasa Sarkaniputra, Direktur Pusat Pengkajian dan
Pengembangan Ekonomi Islam, Surat Tanggapan atas surat
MUI, Jakarta ,
29 April 2003. h. 3
[11] Syamsul Falah, Pola
Bagi Hasil pada Perbankan Syari’ah, Makalah disampaikan pada seminar
ekonomi Islam, Jakarta ,
20 Agustus 2003
[12] John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris
Indonesia, (Jakarta : PT. Gramedia, 1995), Cet. ke-21
[13] Cristopher
Pass dan Bryan Lowes, Kamus
Lengkap Ekonomi, (Jakarta : Erlangga, 1994), Edisi ke-2, h. 583
[14] Murasa Sarkaniputra (Direktur Pusat Pengkajian dan
Pengambangan Ekonomi Islam), surat
kepada Ketua Umum MUI, tentang fatwa MUI No.15/DSN-MUI/IX/2000, Tgl 18
Februari 2003
[15] Cristopher
Pass dan Bryan Lowes, Op.cit., h. 473
[16] Akmal Yahya, Profit Distribution.
http//www.ifibank.go.id
[17] Ibid
[18] Dewan Syari'ah
Nasional, Himpunan Fatwa Dewan Syari'ah Nasional Untuk Lembaga Keuangan
Syari'ah, Ed. 1, Diterbitkan atas Kerjasama Dewan Syari'ah Nasional-MUI
dengan Bank Indinesia, 2001, h. 87
[19] Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia ,
Lok.Cit.
[20] Akmal Yahya, Lok.Cit
[21] Abdurrahman Al Jaziri, Al Fiqh Alaa al Madzahibul
Arba’ah, (Lebanon : Darul Fikri, 1994),
Jilid 3, h. 63
[22] M. Syafei Antonio, Bank Syariah Suatu Pengenalan
Umum, (Jakarta: Tazkia Institute dan BI, 1999) Cet. ke-I, h. 129
[23] Indra Jaya lubis, Tinjauan Mengenai Konsepsi
Akuntansi Bank Syariah, Disampaikan pada Pelatihan – Praktek Akuntansi Bank
Syariah BEMJ-Ekonomi Islam, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2001. h. 18
[24] Abdurrahman al Jaziri, Op. Cit. h. 34
[25] Abdullah Saeed, Bank Islam dan Bunga; Studi Kritis
dan Interpretasi Kontemporer tentang Riba dan Bunga, (Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 2003), Cet. ke-1. h. 100
[26] Abdul Azis, et al.,(ed.) Ensiklopedi Hukum Islam. (Jakarta:
Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996) h. 1198
[27] Ibid.
[28] Akmal Yahya, Profit Distribution,
http//www.ifibank.go.id
[29] Akmal Yahya,